Selasa, 26 Februari 2019

Life Style Masyarakat Perdalaman Indonesia

5 Kebiasaan Suku Pedalaman di Indonesia yang Menunjukkan Keberagaman Budaya Lokal

Indonesia adalah salah satu negara kepulauan yang memiliki keberagaman etnis terbesar di dunia. Sementara Anda sedang sibuk dengan sosial media, beberapa suku di pedalaman Indonesia sana justru berbenah membangun rumah pohon, maupun menato diri sebagai bagian dari ritual tradisionalnya.
Banyak suku-suku di Indonesia yang bermukim di pedalaman ini begitu memegang teguh keyakinan dan kepercayaan yang tidak bisa diganggu-gugat. Sesuatu yang membuktikan bahwasanya Indonesia kaya akan keberagaman budaya lokal. Nah, seperti apa kebiasaan yang dilakukan mereka? Yuk, simak di sini!

1. Tinggal di Rumah Pohon (Korowai, Papua Barat)

Suku Korowai yang berada di Papua ini sempat mendapat sorotan dunia di tahun 1970-an saat sekelompok ilmuwan yang dipimpin Peter Van Arsdale hendak mempelajari cara hidup suku Korowai dan mencari tahu alasan mengapa suku ini masih melakukan praktek kanibalisme. Di samping kisah kanibalisme yang dimiliki suku ini, ada juga budaya lain yang membuat Korowai begitu unik. Yaitu kemampuan suku ini dalam membuat rumah di atas pohon.  Ya, suku Korowai memang lebih menyukai tinggal di atas pohon dengan ketinggian rata-rata 35 meter dari atas tanah. Hal ini dilakukan untuk menghindari nyamuk serta roh jahat. Biasanya rumah yang baru selesai dibangun akan dilumuri lemak hewan di ambang pintu dan tangga. Diketahui saat ini suku Korowai berjumlah sekitar 3.000-4.000 orang.

2. Menjalani Kehidupan tanpa Benda Modern (Baduy Dalam, Banten)

Keunikan dari kebudayaan Baduy sebagai salah satu suku pedalaman Indonesia yang mewarisi khazanah lokal adalah pantangan untuk terpapar dengan dunia modern. Suku Baduy, tepatnya Baduy Dalam tidak menggunakan produk-produk modern sesederhana peralatan masak, penerangan listrik dan transportasi umum. Makanya, kalau melakukan kunjungan ke kota sekalipun masyarakat Baduy melakukan perjalanan kaki. Situasi ini membuat mereka tidak bisa melakukan perjalanan menyeberang pulau karena akan melawan ketentuan pelarangan penggunaan transportasi.

3. Tato Sebagai Tanda Pengenal Leluhur setelah Meninggal (Mentawai, Sumatera Barat)

Untuk masyarakat Suku Mentawai, tato bukan hanya sekadar gaya melainkan penanda abadi yang akan mempertemukan mereka dengan para leluhur di alam baka nanti. Tato juga penanda starta sosial, dan setiap tato punya cerita, makna serta selalu diiringi ritual saat pembuatannya. Tidak ada orang Mentawai yang hidup tanpa tato, seperti halnya bernapas, tato sudah menjadi bagian dari keseharian yang tidak bisa ditinggalkan.

4. ‘Hidup’ di Laut (Bajau, Kalimantan)

Suku Bajau tidak hanya da di Kalimantan tetapi juga menyebar di Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat dan daerah lainnya karena suku ini terbilang menjalani hidup nomaden. Keunikan suku ini adalah karena mereka tinggal di atas laut dan terbiasa menyelam bahkan sampai kedalaman 70 meter di dasar laut tanpa bantuan alat pernapasan. Bahkan karena lebih banyak menghabsikan waktu di perairan, banyak suku Bajau yang tidak bisa berlama-lama di daratan karena mereka akan merasa home sick pada perairan. Selain itu dilansir dari dailymail, banyak anak suku Bajau yang merasa lebih bisa melihat dengan jelas di perairan dibandingkan saat di daratan. Kehebatan suku ini tak sampai di situ saja, Bahkan salah seorang suku Bajau diketahui mampu menyelam selama 13 menit tanpa bantuan alat pernapasan.

5. Kebiasaan Berburu Paus (Suku Lamalera, Nusa Tenggara Timur)

Walaupun kegiatan ini dilarang oleh para pegiat satwa liar dan konservasi alam, tetapi nyatanya aktivitas ini sudah mendarah daging sejak ratusan tahun lalu bagi Suku Lamalera. Ritual memburu paus ini sebelumnya diawali dengan doa dan pemotongan ayam hitam serta upacara adat untuk mendoakan supaya proses pemburuan berjalan lancar. Perburuan paus yang dilakukan dalam rentang Mei – Oktober ini merupakan kegiatan rutin yang kelak hasil perburuannya akan dibagi-bagi dengan seluruh penduduk sesuai dengan sumbangsihnya kepada desa. Pemerintah setempat juga tidak melarang hal ini, selama hasil buruan memang ditujukan untuk konsumsi pribadi dan bukan untuk dijual.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar